Kebijakan Perpajakan dalam Bidang Pendidikan
A.
Definisi Pajak
Pajak
merupakan sumber pendapatan utama bagi suatu negara. Hukum pajak termasuk hukum
publik yang berlaku Lex Specialis derogat Lex Generalis, yang artinya peraturan
khusus lebih diutamakan dari pada peraturan umum atau jika sesuatu ketentuan
belum atau tidak diatur dalam peraturan khusus, maka akan berlaku ketentuan
yang diatur dalam peraturan umum. Mengenai definisi pajak penulis mengutip dari
berbagai sumber sebagai berikut.
A
tax is a financial charge or other levy imposed upon a taxpayer (an individual
or legal entity) by a state or the functional equivalent of a state such that
failure to pay, or evasion of or resistance to collection, is punishable by
law. Taxes are also imposed by many administrative divisions. Taxes consist of
direct or indirect taxes and may be paid in money or as its labour equivalent. (Pieter
Brueguel 1960) Yang berarti pajak adalah biaya keuangan atau retribusi lainnya
dikenakan kepada pembayar pajak (baik individu maupun badan hukum) oleh suatu
negara atau setara secara fungsional sehingga tidak adanya pembayaran,
penghindaran atau perlawanan untuk menunda pembayaran, dapat dihukum oleh
hukum. Pajak juga diberlakukan oleh banyak bagian administratif. Pajak terdiri
dari pajak langsung atau tidak langsung dan dapat dibayar dengan uang atau
sebagai tenaga kerja yang setara.
From
the view of economists, a tax is a non-penal, yet compulsory transfer of
resources from the private to the public sector levied on a basis of
predetermined criteria and without reference to specific benefit received. Dari pandangan ekonom, pajak adalah bukan
pembayaran atas hukuman namun kewajiban sumber daya swasta ke sektor publik yang dikenakan atas dasar kriteria yang telah ditentukan dan
tanpa mengacu pada manfaat khusus yang akan diterima.
Sedangkan
pajak menurut UU No.28 Pasal 1
ayat 1 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
tertulis bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemamakmuran rakyat.
Pajak
dalam bidang pendidikan
sebenarnya pemerintah telah memberikan keringanan pajak terhadap institusi
pendidikan. Hal ini mengingat pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa dan
masih terbatasnya anggaran negara untuk bidang pendidikan. Dalam peranannya
tersebut, pemerintah memberikan insentif bagi organisasi nirlaba yang
menginvestasikan penghasilan yang diperolehnya pada pengembangan dunia
pendidikan.
Terhadap
laba yang diperoleh oleh organisasi pendidikan tersebut yang diinvestasikan
kembali dalam bentuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak dikenakan Pajak
Penghasilan (PPh). Artinya, apabila organisasi pendidikan tersebut
mendapatkan laba, laba yang seharusnya dikenakan pajak (PPh) tidak akan
dikenakan PPh jika laba tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan
prasarana. Pemerintah memberikan jangka waktu selama 4 (empat) tahun sejak laba
tersebut diperoleh, untuk ditanamkan kembali.
Akan
tetapi, setelah lewat dari 4 (empat) tahun laba tersebut tidak digunakan untuk
membangun sarana dan prasarana pendidikan maka akan dikenakan pajak penghasilan
pada tahun pajak berikutnya setelah lewat jangka waktu 4 (empat) tahun
tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh).
Selanjutnya
dasar pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009
tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan Lembaga atau Nirlaba yang
Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan
yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. Petunjuk teknisnya diatur dalam
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-44/PJ./2009
tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan
atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang
Penelitian danPengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan
Sementara
itu, sarana dan prasarana pendidikan tersebut meliputi sebagai berikut:
· Pembelian
atau pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, penelitian dan pengembangan
termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana
tersebut;
·
Pengadaan sarana dan prasarana kantor,
laboratorium dan perpustakaan;
·
Pembelian/pembangunan
asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan
·
Sarana
prasarana olahraga, sepanjang berada di lingkungan/lokasi lembaga pendidikan
formal.
Adapun
badan nirlaba yang menyelenggarakan pendidikan tersebut wajib menyampaikan
pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan
dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat badan nirlaba tersebut
terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya.
Dalam
UU PPh diatur bahwa terhadap Wajib Pajak yang memberikan sumbangan dalam rangka
penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia serta sumbangan
fasilitas pendidikan maka sumbangan tersebut menjadi biaya yang dapat
mengurangi penghasilan kena pajak Wajib Pajak tersebut sesuai dengan
persyaratan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010
tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan
Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan
Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto.
Insentif
pemerintah yang lain di bidang pendidikan adalah dalam rangka pemberian
beasiswa. Penerima beasiswa yang mengikuti pendidikan formal dan/atau
pendidikan nonformal di dalam negeri dan/atau di luar negeri dikecualikan dari
objek PPh. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008 tentang
Beasiswa yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2009.
Adapun
lebih lanjut diatur bahwa komponen beasiswa tersebut terdiri dari biaya
pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian dan biaya
penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil. Selain itu,
komponen tersebut juga dapat berupa biaya untuk pembelian buku dan/atau biaya
hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar.
B.
Kebijakan Dalam Bidang Pajak
Menurut
kamus bisnis kebijakan pajak adalah A
policy that dictates where tax burdens shall lie. Politicians dictate the type
of tax structure they wish to implement, hopefully keeping in mind how their
policies and laws will affect the individual and businesses. Also called tax
code. Yang berarti bahwa Sebuah kebijakan
yang menyatakan di mana beban pajak itu berada. Politisi yang menentukan jenis
struktur pajak yang ingin mereka laksanakan, berharap dengan mengingat
bagaimana kebijakan dan hukum mereka akan mempengaruhi individu dan bisnis. Hal
ini biasa disebut dengan kode pajak.
Sedangkan menurut kamus bahasa
Indonesia, kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yg menjadi garis besar
dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak (tata pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan,
prinsip, atau maksud sbg garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai
sasaran; garis haluan.
Menurut pendapat Ray M. Sommerfeld yang dikutip
R.Mansury bahwa pengertian pajak adalah pengalihan sumber daya dari sektor
swasta kepada sektor publik (Negara), karena penduduk yang bersangkutan
mempunyai kemampuan secara ekonomis yang didasarkan atas peraturan
perundang-undangan tanpa mendapat imbalan yang langsung ditunjuk dalam rangka
memenuhi tujuan ekonomi sosial negaranya. Jadi tujuan pemungutan pajak adalah
merupakan tujuan sosial dan ekonomi suatu bangsa yang ingin dicapai melalui
pengeluaran publik, yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN).
Menurut
R. Mansury, tujuan kebijakan perpajakan adalah sama dengan kebijakan publik
pada umumnya, yaitu mempunyai tujuan pokok :
1)
Untuk
peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran,
2)
Distribusi
penghasilan yang lebih adil
3)
Stabilitas
C. PPN, PPN BM dan Pajak penghasilan (PPh)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
adalah pajak yang
dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam
peredarannya dari produsen ke konsumen atau
secara Cuma-Cuma/hadiah. PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, karena pajak
tersebut disetor oleh pihak lain sebagai pemungut, yang bukan penanggung pajak.
Mekanisme
pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen
sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang
disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal
istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang
dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang
dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia
menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum
utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No.
8/1983 berikut
revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan
Undang-Undang No. 18/2000.
Berikut cara menghitung PPN: 10% x Nilai Objek Pajak
Objek Pajak Pertambahan Nilai yang dimaksud adalah:
a.
penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
b.
impor Barang Kena Pajak;
c.
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
e.
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
atau
f. ekspor
Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Adapun beberapa jenis barang dan jasa yang
dikecualikan terkena PPN yaitu:
- Barang hasil tambang yang langsung diambil dari sumbernya
- Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat
- Makanan yang disajikan oleh hotel/restoran
- Uang, emas batangan dan surat-surat berharga
- Jasa pelayanan kesehatan
- Pengiriman via perangko pt pos
- Pelayanan social
- Leashing/ sewa guna dengan hak opsi
- Bidang keagamaan
- Pendidikan
- Kesenian
- Penyiaran non komersilangkutan umum
- Bidang tenaga kerja
- Perhotelan dan,
- Jasa yg dilakukan oleh badan pemerintah
PPnBM singkatan
dari Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah yang merupakan satu paket dalam
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan
PPnBM ini sedikit berbeda dengan PPN. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1)
Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan terhadap:
1.
Penyerahan
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang
menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
2.
Impor Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah. Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada
saat penyerahan BKP Mewah oleh pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada
saat impor BKP Mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah
itu. Adapun fihak yang memungut PPnBM tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat
melakukan penyerahan atau penjualan BKP Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor
BKP mewah dilunasi oleh importir berbarengan dengan pembayaran PPN impor dan
PPh Pasal 22 Impor.
Dasar
Pertimbangan Pengenaan PPnBM:
1. Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara
konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
2. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah;
3. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen
kecil atau tradisional;
4. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara;
Pengertian
BKP (barang kena pajak) Mewah meliputi:
- Bahwa barang
tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; ataubarang tersebut dikonsumsi
oleh masyarakat tertentu;
-
Pada umumnya
barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi;
-
Barang
tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
- Apabila
dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu
ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.
Pengertian
Tarif BKP Mewah. Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang PPN, ditentukan :
1)
Tarif Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan
paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
2)
Atas ekspor
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol
persen).
3)
Dengan
Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah
yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
4)
Jenis Barang
yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
PPh
adalah Pajak yang dikenakan terhadap Subjek
Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun
pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh
penghasilan. Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban
pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak
tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh
karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting. Subjek pajak yang
menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan (PPh)
disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak
dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu
tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun
pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun
pajak.
Seperti
yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan
tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara
dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tatacara
penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi.
Dalam
aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas
pemerintah, yang membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun
sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana
pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan
kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah,
organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi
serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium,
hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi
berkenaan dengan suatu kegiatan.
Penghitungan
PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6 macam,
yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; PPh
pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21
bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai
pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta
program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana
pensiun. Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh
pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
Penghitungan
PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi
2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan yang rutin dilakukan
setiap bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan setiap masa pajak Desember
(atau masa pajak dimana pegawai berhenti bekerja).
Contoh
Soal PPh Pasal 21
Wajib
Pajak Aiga Rahmadiana, bekerja sebagai pegawai swasta dengan gaji Rp. 4.800.000/bulan,
mendapat tunjangan makan Rp. 1.000.000/bulan, tunjangan transport Rp.
700.000/bulan, Premi Jaminan Kecelakaan Kerja o,50%, Jaminan kesehatan 0,25%,
Jaminan Hari Tua 2%.
Hitunglah
besar PPh Pasal 21
Gaji Rp. 4. 800.000,-
Tunjangan
Makan Rp. 1.000.000,-
Tunjangan
Transport Rp. 700.000,- +
Penghasilan
Bruto Rp.
6.500.000,-
Potongan
P.
J. Kecelakaan Kerja (0,50% x Rp. 4.800.000) Rp. 24.000,-
P.
Jaminan Kematian (0,25 x Rp. 4.800.000) Rp.
12.000,-
Iuran
Jaminan Hari Tua (2% x Rp. 4.800.000) Rp.
96.000,- +
(Rp. 132.000,-)-
Penghasilan
Neto Sebulan Rp.
6.368.000,-
Penghasilan Neto Setahun 12 x Rp. 6.368.000= Rp. 76.416.000,-
PTKP:
Wajib
Pajak (Rp. 24.300.000,-)-
PKP
Setahun Rp. 52.116.000,-
PPh
Pasal 21 terhitung:
5% x
Rp 50.000.000,- =Rp.
2.500.000,-
15%x
Rp 2.116.000,- =Rp. 317.400,-+
PPh
per tahun =Rp.
2.817.400,-
PPh per bulan =(Rp 2.817.400 : 12)
=
Rp. 234.784,-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar